Lama nggak nengok Blog unfaidah ini, kira-kira ada yang kangen nggak? enggak ada ya hmm. ya sudah nggak papa he he. Entahlah tiba-tiba saja dapat pangsit eh wangsit untuk berbagai sebuah cerpen remajaku yang dulu pernah dimuat di kr. minggu pagi Jogja terisnspirasi dari sosok guru matematika zaman sekolah dulu Bu Latifah (semoga beliau tenang disana) so selamat membaca
Cowok menangis
Ku lihat Ega, cowok yang biasanya paling sering disuruh maju
mengerjakan soal sama Bulat sedang melirik jam dinding, panik. Kurang lima menit lagi
bel masuk berbunyi dan sepertinya masih
ada beberapa soal lagi yang belum dia selesaikan. Ega pun menyenggol Bayu temen
sebangkunya untuk nyari bantuan tapi sia sia Bayu juga geleng-geleng kepala. Tak menyerah Ega mencoba
memcari bantuan teman-teman yang lain macam Rendi, Ardha dan Ikul. Tapi
hasilnya sama, tak ada yang berhasil memecah soal nomer tiga dan lima, soal
yang memang sulit. Aku saja sampai butuh
waktu lama untuk mengerjakannya dan itu pun belum tentu benar. Sebuah
Pertanda bakal ada yang berdiri lama
mengerjakan soal itu di papan tulis nantinya. Tidak bakal dimarahin sih, kalo
tidak bisa justru akan dituntun sama
Bulat, sebutan kami untuk Bu Latifah sampai
benar-benar bisa. Cuman malunya itu lho. Ah semoga Ega saja nanti yang dapat
jatah itu. Entah kenapa aku suka sekali melihat wajah Ega saat dia sedang
kebingungan seperti saat ini, terihat lucu saja bagiku.
Ega berjalan pelan ke arahku sambil berkali-kali mengusap-usap
rambutnya. Aku yakin sekali soal nomer tiga dan lima lah yang membuatnya
menghampiriku yang duduk di pojok
belakang. Tampak jelas sekali dia ragu-ragu untuk menyampaikannya.
“Teeet”
Belum juga Ega sampai ke bangkuku, Bel
masuk berbunyi membuat seisi kelas makin panik menggunakan sisa waktu untuk
memecahkan soal sebelum Bulat datang. Ega pun memiih kembali ke bangkunya.
Mungkin Ega sudah pasrah memilih untuk
jujur tak bisa mengerjakan seandainya pagi ini Bulat memintanya mengerjakan
soal nomer tiga atau lima toh waktunya takkan cukup untuk mendengar
penjelasanku. Meski hal itu menyisakan rasa kecewa dalam hatiku karena Ega tak
jadi menghampiriku
“Ega!”
Duh kenapa juga tiba-tiba aku berteriak memanggilnya.
“Ada apa?” jawab Ega menoleh ke arahku.
“Siap-siap saja berdiri lama di depan nanti,”
“Ha ha I,M STRONG,” Jawab
Ega sambil tersenyum memamerkan otot lengannya yang sama sekali tak berotot.
Aku tertawa geli melihatnya.
Terdengar bunyi langkah kaki berjalan semakin dekat menuju kelas. Seisi
kelas khususnya anak-anak cowok menahan nafas seperti menunggu waktu eksekusi
tiba hingga seseorang masuk ke dalam
kelas. Tapi bukan Bulat yang masuk melainkan Bu Ayu. Antara lega dan penasaran
menyelimuti seisi kelas dengan masuknya Bu Ayu, bahkan ada yang nyeletuk
mengingatkan Bu Ayu yang mungkin salah kelas. Dan Bu Ayu memang tidak salah kelas.
“Anak-anak. Hari ini Bu Latifah berhalangan hadir. Beliau memberi
tugas di buku paket halaman lima puluh. Nanti dikumpulkan ke kantor kalau sudah
selesai. Jangan rame dan keluyuran keluar kelas.” Terang Bu Ayu singkat
kemudian bergegas pergi meninggakan kelas.
Aku bergegas mengejar bu Ayu keluar kelas. Entah kenapa tiba-tiba
ada rasa gelisah di hatiku dan rasa gelisah itu
terjawab saat Bu Ayu menjelaskan alasan ketidak hadiran Bulat karena
beliau sedang sakit keras dan saat ini sedang dirawat di rumah sakit. Setelah mendengar penjelasan Bu Ayu, aku
segera kembali ke kelas yang sayup-sayup mulai terdengar gaduh.
“Horeeee!”
Saat aku sampai, kelas sudah jadi rame tak terkendali sebagaimana lumrahnya jam
kosong. Jarang-jarang memang Bulat tak masuk.
Biasanya Bulat adalah guru yang paling rajin. Tapi layakkah mereka
tertawa riang saat Bulat sedang sakit seperti. Dan aku sangat kecewa sekali
dengan Ega, cowok yang belakangan
mencuri perhatianku.
“Semoga Bulat nggak ngajarnya lama he he, biar kita bebas.” Celetuk
Ega girang yang langsung diamini
anak-anak cowok yang lain.
“Amiiin. Ha ha”
“Bulat sedang sakit tauk! Bukannya mendoakan yang baik-baik!”
teriakku kesal dan kecewa pada anak-anak cowok terutama Ega, tega sekali dia pada Bulat.
“Lho, Bulat sakit Jane?”
Ega dan beberapa anak cowok datang menghampiri.
“Iya bulat sakit sekarang beliau ada di rumah sakit. Kalian senang
kan,” jawabku kesal sambil berlalu***
Sore harinya aku dan Rani teman sebangkuku menjenguk Bulat di rumah
sakit. Tadinya Rani mengajak menjenguk besok saja bareng-bareng sama teman-teman
yang lain. Tapi aku menolak, selain aku masih kecewa sama sikap teman-teman
terutama anak-anak cowok yang malah ketawa-ketawa saat Bulat tak masuk, aku
ingin cepat melihat kondisi Bulat dan hal yang sama sekaIi tak ku sangka
terjadi , anak-anak cowok ternyata sudah
berada di rumah sakit menjenguk Bulat terlebih dahulu. Mereka mengelilingi
Bulat yang terbaring tak berdaya dengan selang infus di lengan kirinya.
Aku dan Rani melangkah pelan memasuki ruangan menghampiri Bulat
memcium tangannya kemudian bergabung dengan yang lain.
“Kalian pasti senang ya Ibu sakit? jadi bebas tidak mengerjakan
tugas. Uhuk-uhuk.” canda Bulat terbatuk-batuk. Yah meski kondisinya lemah,
Bulat masih saja bercanda begitu melihat murid-muridnya yang biasanya bandel
datang menjenguk.
“Ah enggaklah Bu, justru kita berharap Ibu lekas sembuh. Asal Ibu sembuh, Bayu rela lho Bu ngerjain soal di
papan tulis tiap hari he he.” Canda Ega berusaha mencairkan suasana.
“Kok aku,” saut Bayu cepat namanya tiba tiba disebut.
Tawa pun pecah. Bulat ikut tersenyum.
“Ah kalian ini. Ya sudah doakan saja Ibu cepat sembuh biar bisa
ngajar kalian lagi.”
“Amiiin”
“Yakin ingin bulat cepat sembuh,” sindirku saat kami sudah berada
di luar ruangan. “Ayolah Jane… tadi aku benar-benar tak tahu kalo Bulat sakit” ***
Aku tak pernah menyangka kalau anak-anak cowok yang dipelopori Ega
akan begitu perhatian sama Bulat, bahkan aku yang boleh dibilang murid
kesayangannya saja tak berfikir sejauh
itu. Yah, setelah tau sakit yang diderita Bulat cukup parah, anak-anak cowok di
kelasku berencana membuat pensi melibatkan semua anggota eskul sekolah sebagai
pengisi acara yang bertujuan menggalang donasi untuk Bulat. Mereka melobi semua
eskul agar mau ikut berpartisipasi mereka juga belajar membuat proposal kepada
anak-anak osis untuk mengurus izin Pensi.
“Nanti acaranya kita adakan
di aula sekolah, yang ingin nonton harus beli tiket. Kita harus jelaskan kalau
uang yang terkumpul seratus persen buat bantu Bulat. Nah, kalau semua izin dan lain-lain udah
siap, kita promosikan acara ini seprovokatif mungkin agar banyak yang tertarik
untuk ikut berpartisipasi,” Terang Ega
berapi-api
Anak-anak cowok di kelasku yang tadinya duduk bergerombol membahas tentang persiapan pertunjukan amal
harus kembali ke bangku masing-masing begitu pak Budi masuk kelas dengan kepala
tertunduk, sebelum akhirnya dengan terbata menyampaikan berita duka yang
benar-benar menjadi kejutan di pagi itu.
“Innalilahi wainnailailhi rojiun, telah berpulang ke rahmatulloh.
Guru kita Bu Latifah, beberapa saat yang
lalu,”
“Haaah!” jerit seisi kelas kaget setengah tak percaya dengan apa
yang barusan di sampaikan Pak Agus.
“Mari kita berdoa untuk Beliau sesuai dengan agama dan kepercayaan
masing-masing, berdoa mulai...”
Kelas menjadi hening, Aku dan hampir semua tertunduk menitikan air mata
memohon ampunan untuk Bulat. Semua kembali teringat akan Bu Latifah dengan segala
kelembutannya menuntun kami memecahkan soal-soal. Sekilas aku melirik Ega yang
menangis tersedu penuh sesal sambil meremas proposal yang dia kebut semalaman. Ah
mungkin Ega teringat celetukannya yang ingin agar Bulat tak mengajar dalam waktu
yang lama. Bulat memang takkan mengajar lagi selamanya Ega.
Malang 31 mei 2018