Sabtu, 06 Juli 2019

cowok menangis

            
 Lama nggak nengok Blog unfaidah ini,  kira-kira ada yang kangen nggak? enggak ada ya hmm. ya sudah nggak papa he he.  Entahlah tiba-tiba saja dapat pangsit eh wangsit untuk berbagai sebuah cerpen remajaku  yang dulu pernah dimuat di kr. minggu pagi Jogja terisnspirasi dari sosok guru matematika zaman sekolah dulu Bu Latifah (semoga beliau tenang disana)  so selamat membaca

Cowok menangis

Ku lihat Ega, cowok yang biasanya paling sering disuruh maju mengerjakan soal sama Bulat  sedang  melirik jam dinding, panik. Kurang lima menit lagi bel masuk berbunyi dan sepertinya  masih ada beberapa soal lagi yang belum dia selesaikan. Ega pun menyenggol Bayu temen sebangkunya untuk nyari bantuan tapi sia sia  Bayu juga  geleng-geleng kepala. Tak menyerah Ega mencoba memcari bantuan teman-teman yang lain macam Rendi, Ardha dan Ikul. Tapi hasilnya sama, tak ada yang berhasil memecah soal nomer tiga dan lima, soal yang memang sulit.  Aku saja sampai butuh waktu lama untuk mengerjakannya dan itu pun belum tentu benar. Sebuah Pertanda  bakal ada yang berdiri lama mengerjakan soal itu di papan tulis nantinya. Tidak bakal dimarahin sih, kalo tidak  bisa justru akan dituntun sama Bulat, sebutan kami untuk Bu Latifah  sampai benar-benar bisa. Cuman malunya itu lho. Ah semoga Ega saja nanti yang dapat jatah itu. Entah kenapa aku suka sekali melihat wajah Ega saat dia sedang kebingungan seperti saat ini, terihat lucu saja bagiku.
Ega berjalan pelan ke arahku sambil berkali-kali mengusap-usap rambutnya. Aku yakin sekali soal nomer tiga dan lima lah yang membuatnya menghampiriku  yang duduk di pojok belakang. Tampak jelas sekali dia  ragu-ragu untuk menyampaikannya.
“Teeet” 
            Belum juga Ega sampai ke bangkuku, Bel masuk berbunyi membuat seisi kelas makin panik menggunakan sisa waktu untuk memecahkan soal sebelum Bulat datang. Ega pun memiih kembali ke bangkunya. Mungkin Ega sudah pasrah  memilih untuk jujur tak bisa mengerjakan seandainya pagi ini Bulat memintanya mengerjakan soal nomer tiga atau lima toh waktunya takkan cukup untuk mendengar penjelasanku. Meski hal itu menyisakan rasa kecewa dalam hatiku karena Ega tak jadi menghampiriku
            “Ega!”
Duh kenapa juga tiba-tiba aku berteriak  memanggilnya.
“Ada apa?” jawab Ega menoleh ke arahku.
“Siap-siap saja berdiri lama di depan nanti,” 
“Ha ha I,M STRONG,” Jawab Ega sambil tersenyum memamerkan otot lengannya yang sama sekali tak berotot. Aku tertawa geli melihatnya.
Terdengar bunyi langkah kaki berjalan semakin dekat menuju kelas. Seisi kelas khususnya anak-anak cowok menahan nafas seperti menunggu waktu eksekusi tiba hingga seseorang  masuk ke dalam kelas. Tapi bukan Bulat yang masuk melainkan Bu Ayu. Antara lega dan penasaran menyelimuti seisi kelas dengan masuknya Bu Ayu, bahkan ada yang nyeletuk mengingatkan Bu Ayu yang mungkin salah kelas. Dan Bu Ayu memang  tidak salah kelas.
“Anak-anak. Hari ini Bu Latifah berhalangan hadir. Beliau memberi tugas di buku paket halaman lima puluh. Nanti dikumpulkan ke kantor kalau sudah selesai. Jangan rame dan keluyuran keluar kelas.” Terang Bu Ayu singkat kemudian bergegas pergi meninggakan  kelas.
Aku bergegas mengejar bu Ayu keluar kelas. Entah kenapa tiba-tiba ada rasa gelisah di hatiku dan rasa gelisah itu  terjawab saat Bu Ayu menjelaskan alasan ketidak hadiran Bulat karena beliau sedang sakit keras dan saat ini sedang dirawat di rumah sakit.  Setelah mendengar penjelasan Bu Ayu, aku segera kembali ke kelas yang sayup-sayup mulai terdengar gaduh.
“Horeeee!”
            Saat aku sampai, kelas sudah   jadi  rame tak terkendali sebagaimana lumrahnya jam kosong. Jarang-jarang memang Bulat tak masuk.  Biasanya Bulat adalah guru yang paling rajin. Tapi layakkah mereka tertawa riang saat Bulat sedang sakit seperti. Dan aku sangat kecewa sekali dengan Ega, cowok yang  belakangan mencuri perhatianku.
“Semoga Bulat nggak ngajarnya lama he he, biar kita bebas.” Celetuk Ega girang yang  langsung diamini anak-anak cowok yang lain.
“Amiiin. Ha ha”
“Bulat sedang sakit tauk! Bukannya mendoakan yang baik-baik!” teriakku kesal dan kecewa pada anak-anak cowok terutama Ega,  tega sekali dia pada Bulat.
“Lho, Bulat sakit Jane?”
Ega dan beberapa anak cowok datang menghampiri.
“Iya bulat sakit sekarang beliau ada di rumah sakit. Kalian senang kan,” jawabku kesal  sambil berlalu***
Sore harinya aku dan Rani teman sebangkuku menjenguk Bulat di rumah sakit. Tadinya Rani mengajak menjenguk besok saja bareng-bareng sama teman-teman yang lain. Tapi aku menolak, selain aku masih kecewa sama sikap teman-teman terutama anak-anak cowok yang malah ketawa-ketawa saat Bulat tak masuk, aku ingin cepat melihat kondisi Bulat dan hal yang sama sekaIi tak ku sangka terjadi ,  anak-anak cowok ternyata sudah berada di rumah sakit menjenguk Bulat terlebih dahulu. Mereka mengelilingi Bulat yang terbaring tak berdaya dengan selang infus di lengan kirinya.
Aku dan Rani melangkah pelan memasuki ruangan menghampiri Bulat memcium tangannya kemudian bergabung dengan yang lain.
“Kalian pasti senang ya Ibu sakit? jadi bebas tidak mengerjakan tugas. Uhuk-uhuk.” canda Bulat terbatuk-batuk. Yah meski kondisinya lemah, Bulat masih saja bercanda begitu melihat murid-muridnya yang biasanya bandel datang menjenguk.
“Ah enggaklah Bu, justru kita berharap Ibu lekas sembuh. Asal Ibu  sembuh, Bayu rela lho Bu ngerjain soal di papan tulis tiap hari he he.” Canda Ega berusaha mencairkan suasana.
“Kok aku,” saut Bayu cepat namanya tiba tiba disebut.
Tawa pun pecah. Bulat ikut tersenyum.
“Ah kalian ini. Ya sudah doakan saja Ibu cepat sembuh biar bisa ngajar kalian lagi.”
“Amiiin”
“Yakin ingin bulat cepat sembuh,” sindirku saat kami sudah berada di luar ruangan. “Ayolah Jane… tadi aku benar-benar tak tahu kalo Bulat sakit” ***
Aku tak pernah menyangka kalau anak-anak cowok yang dipelopori Ega akan begitu perhatian sama Bulat, bahkan aku yang boleh dibilang murid kesayangannya  saja tak berfikir sejauh itu. Yah, setelah tau sakit yang diderita Bulat cukup parah, anak-anak cowok di kelasku berencana membuat pensi melibatkan semua anggota eskul sekolah sebagai pengisi acara yang bertujuan menggalang donasi untuk Bulat. Mereka melobi semua eskul agar mau ikut berpartisipasi mereka juga belajar membuat proposal kepada anak-anak osis untuk mengurus izin Pensi.
“Nanti acaranya kita  adakan di aula sekolah, yang ingin nonton harus beli tiket. Kita harus jelaskan kalau uang yang terkumpul seratus persen buat bantu Bulat.  Nah, kalau semua izin dan lain-lain udah siap, kita promosikan acara ini seprovokatif mungkin agar banyak yang tertarik untuk ikut berpartisipasi,” Terang  Ega berapi-api
Anak-anak cowok di kelasku yang tadinya duduk bergerombol  membahas tentang persiapan pertunjukan amal harus kembali ke bangku masing-masing begitu pak Budi masuk kelas dengan kepala tertunduk, sebelum akhirnya dengan terbata menyampaikan berita duka yang benar-benar menjadi kejutan di pagi itu.
“Innalilahi wainnailailhi rojiun, telah berpulang ke rahmatulloh. Guru kita Bu  Latifah, beberapa saat yang lalu,”
“Haaah!” jerit seisi kelas kaget setengah tak percaya dengan apa yang barusan di sampaikan Pak Agus.
“Mari kita berdoa untuk Beliau sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing, berdoa mulai...”
            Kelas menjadi hening, Aku dan  hampir semua tertunduk menitikan air mata memohon ampunan untuk Bulat. Semua kembali  teringat akan Bu Latifah dengan segala kelembutannya menuntun kami memecahkan soal-soal. Sekilas aku melirik Ega yang menangis tersedu penuh sesal sambil  meremas proposal yang dia kebut semalaman. Ah mungkin Ega teringat  celetukannya  yang ingin agar Bulat tak mengajar dalam waktu yang lama. Bulat memang takkan mengajar lagi selamanya Ega. 

Malang 31 mei 2018






Tidak ada komentar:

Posting Komentar