Andaikan aku cewek Ra
“Hai, apa kabar
nih?” ketik Ben di kolom
Chat begitu melihat Ira teman smanya yang sekarang kuliah di Jogja sedang online.
Yah, ide cerita yang tadinya
begitu deras mengalir di otak Ben, saat masih di kampus mendadak hilang, saat cowok berambut ikal itu
sudah di depan laptop. Ben terus mencoba mengingat-ingat. Tapi meski sudah satu
jam berada di depan laptop, Ben masih belum tahu mau mengetik apa. Hingga
akhirnya Ben putuskan untuk menyalakan Obrolan facebook yang dari tadi dia
matikan, berharap ada seseorang yang
bisa diajak ngobrol untuk mengembalikan ide ceritanya yang hilang. Dan
kebetulan sekali, Ira cewek yang hampir setahun tak dia temui sedang online.
“Baik.”
Cowok yang sedang butuh teman bicara itu mengusap-ngusap wajahnya gemas, menunggu
balasan cukup lama hanya untuk sebuah kata baik. Padahal, dia berharap sekali bisa memulai percakapan seru
dengan teman lamanya itu. Teman yang memang sejak dulu terkenal cuek, susah
ditebak tapi sebenarnya baik dan asyik kalau
diajak ngobrol.
“Emang kamu
nggak ingin tau kabar ku apa?” bales Ben kembali berusaha membuka percakapan.
“Nggak,”
bales Ira singkat.
Alis Ben langsung naik membaca pesan balasan dari Ira yang terkesan
ogah-ogahan itu, sudah balesnya lama, singkat pula. Ben pun berniat mengakhiri obrolan yang
awalnya dia harap bisa membantu menemukan ide cerita yang hilang tapi malah
membuatnya ingin nelen orang itu.
“Hi
hi becanda Ben, apa kabar nih?” Buru-buru
pesan susulan masuk.
“Iraa!
Dasar kamu itu ya, benar-benar menguji kesabaran nggak berubah sama sekali,
NGESELIN.” ketik Ben gemes hampir saja dia menekan close tab.
“Hi
hi Lha kamu pengennya aku berubah jadi apa Ben, Hulk? Lagian kamu tumben tiba-tiba nanya kabar.”
“Lagi
ingin curhat Raa,”
“ha ha Curhat apa?”
“ Mmm abis
ditolak cewek ya. Kayaknya bukan hal baru deh kalau kamu ditolak kwkkwkw,” Balas Ira berantai. Yah
Ira aslinya cewek yang dingin dan susah
ditebak tapi kalau sudah mencair dia bakal dominan sekali. Dan ben termasuk
dari sedikit cowok yang bisa membuat Ira tidak bersikap dingin.
“Tidak ada
ceritanya ya, aku ditolak cewek. tapi kalo diludahi sering ha ha”
“Gini Ra, aku masih penasaran
ingin mengejar mimpi jadi penulis. Tapi ternyata susah, idenya ilang terus pas
sudah di depan laptop. Belum lagi semangat menulis ku, masih angin-anginan,”
Ketik Ben meluapkan unek-uneknya di kolom Chat.
Lama menunggu belum juga ada balasan.
“Hooi,masih
idup Neng!”
Ketik Ben yang sudah hampir setengah
jam menunggu balasan yang tak kunjung datang.
“Hi
hi maaf aku tinggal makan dulu lapar.”
“Kirain udah mati
Ra,”
“Ha ha jangan
marah lah. Eh setahuku jadi penulis itu emang butuh tekad kuat deh. Yang
berbakat pun bakal lewat kalo nggak punya tekad. So tekadnya yang harus
dikuatkan dulu, terus tulis aja apa yang mau kamu tulis jangan takut dibilang
tulisannya jelek ...”
“Nggak
mudah itu Ra,” Bales Ben menanggapi saran dari sahabatnya itu.
“Siapa
yang bilang mudah Ben. Intinya kalo kamu
pengen jadi penulis ya harus rajin menulis. kalo idenya takut ilang, idenya
diiket aja pas muncul biar nggak kabur
he-he,”
“Boleh
juga tuh. Hai, no hape kamu berapa, ra?”
“Buat
apa?”
“Ya
biar gampang kalo ngubungi kamulah,”
“Tiap malem aku online Kok, kita ngobrol lewat fb saja,”
“Ya
sudah kalau begitu. Eh ngomong-ngomong udah punya cowok belum nih, di Jogja?”
“Ah
kamu Ben, kamu pasti sudah tau jawabannya,”***
Ben mulai aktif menulis cerita, menulis apa saja yang terlintas di otaknya
seperti yang disarankan Ira. Kadang, saat ide itu muncul tiba-tiba, dia menuliskan ide itu di
sebuah buku kecil yang kini selalu ada sakunya, mengikat ide itu supaya tak
hilang seperti saran Ira. Dan saat sudah
mulai bosan, Ben menyapa Ira yang memang tiap malam online menemaninya menulis,
sesuai dengan janjinya. Bukan hanya menemani, Ira juga jadi editor yang mengoreksi
naskah-naskahnya, sebelum dia kirim ke majalah.
“Aduh
Ra, ini udah cerpen keempat yang aku kirim ke majalah, kok belum ada yang
tembus ya...,” Keluh Ben yang semangatnya
kembali redup.
“Sabar
Ben, belum kebaca kali sama Redakturnya, buat dan kirim lagi Ben,”
“Jenuh…,”
“Semua
butuh proses Ben, coba aja kamu tanya sama penulis best seller sekalipun pasti
pernah ngalami apa yang sekarang kamu alami. Minimal sekarang kamu sudah mulai
produktif dan sudah punya pembaca setia lho hi hi,”
“Pembaca
setia? Siapa?”
“Aku
Ben, Abis cerpen kamu lucu sih, pas banget buat hiburan saat lagi sumpek
mikirin tugas kuliah yang nggak
kelar-kelar hi hi”
“Hmm
seandainya nanti aku nerbitin novel, aku yakin seratus persen pasti kamu nggak
beli, tapi minta gratis. ya nggak?”
“Hi
hi tepat sekali kawan. Kamu memang paling ngerti aku deh,”
“Baik
lah aku janji kalo karyaku dimuat. Aku bakal antar langsung majalahnya ke Jogja buat kamu,”
“Ditunngu. Janji cowok harus ditepati.” ***
Baru diposting beberapa saat foto
cerpen Ben yang berhasil tembus sebuah majalah sudah mendapat banyak like dan
komen dari temen-temennya yang mengucapkan selamat. Tapi Ben merasa belum puas
karena dari sekian banyak komen dan jempol yang dia dapat tak ada yang dari
akun fb Ira. Entah cewek pecinta warna biru itu tiba-tiba tak pernah lagi online.
Ben sudah mengirimkan belasan pesan
tapi belum ada jawaban, membuat Ben resah dan bertanya-tanya kemana gerangan gadis yang biasanya tiap
malam menemaninya menulis itu. Rasa resah Ben makin menjadi. Hampir tiap menit
dia membuka akun fbnya mengecek email masuk tapi masih juga kosong. Jangankan
dibalas, dibaca saja belum. Rasa sesak itu
terus menghimpit membuatnya jadi ingin sekali
pergi ke jogja menemui Ira.
***
Ben setengah tak percaya,
pemuda yang dia tanya alamat rumah Ira menunjuk ke sebuah rumah yang
terdapat bendera palang hitam tanda kalau di rumah tersebut baru saja ada orang
yang meninggal. Tanpa bertanya siapa yang meninggal, cowok berambut ikal itu langsung berlari kencang menuju rumah itu. Perasaan
Ben yang tadinya bimbang mendadak menjadi gelisah luar biasa. Ben takut terjadi
apa-apa sama Ira, sosok yang selama ini menemaninya menulis.
Ben dipersilahkan masuk di
sebuah ruangan yang dialasi karpet. semua kursi di ruangan itu di taruh di luar.
Setelah duduk, Ben hanya menyapu pandang
ke seluruh ruangan mengamati tiap jengkal rumah bergaya minimalis dengan
lukisan-lukisan antik yang menghiasi dinding untuk mengusir rasa grogi. Ben masih bingung untuk memulai
sebuah pembicaraan. Dia lega Ira ternyata baik-baik saja, tapi jadi ikutan
sedih begitu tahu Ira baru saja ditinggal pergi ibunya untuk selamanya. Mulut
Ben terasa sangat kelu menatap mata sayu Ira yang kini tepat di depannya.
“Apa kabar kamu Ra?” akhirnya sebuah kata terucap juga dari bibir
Ben.
“Baik Ben, terima kasih sudah mau datang kesini, mohon bantuan
doanya untuk Almarhumah ibuku, semoga di
sana Alloh selalu menyanyanginya,” Ucap Ira masih belum percaya Ben akan
jauh-jauh dari Malang untuk mengunjunginya.
Lagi Ben terdiam. Sejak
SMP sampek SMA Ira sekolah sambil belajar di pesantren di kota Malang, jauh dari
kedua orang tuanya. Ira jadi satu-satunya cewek berhijab dari pesantren yang diterima
di sekolah negeri favorit di Malang. Gadis cantik yang berhijab rapat itu
kemudian melanjutkan kuliah di kota asalnya Jogjakarta, agar bisa dekat dengan
keluarga. Ah nyatanya dia harus kehilangan.
“Beliau pasti lebih bahagia di sana sekarang. Kamu yang sabar ya..”
“Amin Ben, sekali lagi terima kasih…” saut Ira lirih.
Ben kembali terdiam, Entah kenapa tiba-tiba muncul dalam benaknya
untuk berubah menjadi seorang cewek untuk beberapa saat saja. Ben ingin sekali
memeluk erat Ira dan meminjamkan bahunya sebagai tempat bersandar. Sesuatu yang tak dapat dia
lakukan karena dia seorang cowok. Ben kenal betul siapa Ira, seorang muslimah
yang sangat taat, pernah suatu kali waktu masih satu sekolah dulu, karena
merasa sudah akrab, Ben iseng menggandeng
tangan Ira saat keduanya berjalan beriringan menuju kelas. Hasilnya, Ben tak
disapa selama seminggu penuh setelah itu. Ben pun minta maaf dan
berjanji untuk tidak mengulangi.
“Kalau kamu memang ingin temenan sama aku Ben, tolong jangan
seperti itu lagi.” Ben kembali terngiang ucapan Ira dulu.
Tak mau terlarut dengan suasana haru, Ben buru-buru mengeluarkan
sesuatu dari tas selempangnya.
“Eh Ra, cerpenku kemarin ada yang dimuat lho. Sesuai
janji, aku bawa langsung majalahnya buat kamu,” seru Ben menyerahkan sebuah
majalah kepada Ira.
“Ah, alhamdulillah. Akhirnya tembus juga, selamat Ben!” Pekik Ira
begitu gembira mendengar kabar dari Ben. Sambil terus tersenyum, gadis berhijab
rapat itu meraih majalah dari tangan Ben dan membolak balik majalah mencari
halaman yang memuat cerpen Ben. Senyum Ira sore itu terasa begitu menyejukkan
sekali bagi Ben.
“Iya Ra, jangan lama-lama ya sedihnya. Kembali ceria dan temani aku
menulis lagi,” seru Ben senang melihat Ira begitu antusias membuka halaman demi
halaman majalah yang dia bawa.
“Iya, Ben. Terima kasih sudah datang, dan menepati janji,”
“ Ah, andaikan aku cewek Ra?” gumam Ben ingin sekali memeluk sa