Rabu, 21 Desember 2022

 


Andaikan aku cewek Ra


“Hai, apa kabar nih?” ketik Ben di kolom Chat begitu melihat Ira teman smanya yang sekarang kuliah di Jogja sedang  online.

 Yah, ide cerita yang tadinya begitu deras mengalir di otak Ben, saat masih di kampus  mendadak hilang, saat cowok berambut ikal itu sudah di depan laptop. Ben terus mencoba mengingat-ingat. Tapi meski sudah satu jam berada di depan laptop, Ben masih belum tahu mau mengetik apa. Hingga akhirnya Ben putuskan untuk menyalakan Obrolan facebook yang dari tadi dia matikan, berharap  ada seseorang yang bisa diajak ngobrol untuk mengembalikan ide ceritanya yang hilang. Dan kebetulan sekali, Ira cewek yang hampir setahun tak dia temui sedang online.

            Baik.

Cowok yang sedang butuh teman bicara itu  mengusap-ngusap wajahnya gemas, menunggu balasan cukup lama hanya untuk sebuah kata baik. Padahal, dia  berharap sekali bisa memulai percakapan seru dengan teman lamanya itu. Teman yang memang sejak dulu terkenal cuek, susah ditebak  tapi sebenarnya baik dan asyik kalau diajak ngobrol.    

“Emang kamu nggak ingin  tau kabar ku apa?” bales Ben kembali berusaha membuka percakapan.

            Nggak,” bales Ira singkat.

Alis  Ben langsung naik  membaca pesan balasan dari Ira yang terkesan ogah-ogahan itu, sudah balesnya lama, singkat pula.  Ben pun berniat mengakhiri obrolan yang awalnya dia harap bisa membantu menemukan ide cerita yang hilang tapi malah membuatnya ingin nelen orang itu.

            Hi hi becanda Ben, apa kabar nih?” Buru-buru pesan susulan masuk.

            Iraa! Dasar kamu itu ya, benar-benar menguji kesabaran nggak berubah sama sekali, NGESELIN.” ketik Ben gemes hampir saja dia menekan close tab.

            Hi hi Lha kamu pengennya aku berubah jadi apa Ben, Hulk? Lagian kamu tumben  tiba-tiba nanya kabar.

            Lagi  ingin curhat Raa,”

 ha ha Curhat apa?”

“ Mmm abis ditolak cewek ya. Kayaknya bukan hal baru deh kalau kamu ditolak kwkkwkw,” Balas Ira berantai. Yah Ira  aslinya cewek yang dingin dan susah ditebak tapi kalau sudah mencair dia bakal dominan sekali. Dan ben termasuk dari sedikit cowok yang bisa membuat Ira tidak bersikap dingin.

“Tidak ada ceritanya ya, aku ditolak cewek. tapi kalo diludahi sering ha ha”

Gini Ra, aku masih penasaran ingin mengejar mimpi jadi penulis. Tapi ternyata susah, idenya ilang terus pas sudah di depan laptop. Belum lagi semangat menulis ku, masih angin-anginan,” Ketik Ben meluapkan unek-uneknya di kolom Chat.  

Lama menunggu belum juga ada balasan.

            Hooi,masih idup Neng!”

            Ketik Ben yang sudah hampir setengah jam menunggu balasan yang tak kunjung datang.

            Hi hi maaf aku tinggal makan dulu lapar.”

            “Kirain udah mati Ra,”

            “Ha ha jangan marah lah. Eh setahuku jadi penulis itu emang butuh tekad kuat deh. Yang berbakat pun bakal lewat kalo nggak punya tekad. So tekadnya yang harus dikuatkan dulu, terus tulis aja apa yang mau kamu tulis jangan takut dibilang tulisannya jelek ...”

            Nggak mudah itu Ra,” Bales Ben menanggapi saran dari sahabatnya itu.

            Siapa yang bilang  mudah Ben. Intinya kalo kamu pengen jadi penulis ya harus rajin menulis. kalo idenya takut ilang, idenya diiket aja pas muncul biar nggak  kabur he-he,

            Boleh juga tuh.  Hai,  no hape kamu berapa, ra?”

            Buat apa?”

            Ya biar gampang kalo ngubungi kamulah,”

            “Tiap malem aku online Kok, kita ngobrol lewat fb saja,”

            Ya sudah kalau begitu. Eh ngomong-ngomong udah punya cowok belum nih,  di Jogja?”

            Ah kamu Ben, kamu pasti sudah tau jawabannya,”***

            Ben mulai aktif menulis cerita,  menulis apa saja yang terlintas di otaknya seperti yang disarankan Ira. Kadang, saat ide itu  muncul tiba-tiba, dia menuliskan ide itu di sebuah buku kecil yang kini selalu ada sakunya, mengikat ide itu supaya tak hilang seperti saran Ira.  Dan saat sudah mulai bosan, Ben menyapa Ira yang memang tiap malam online menemaninya menulis, sesuai dengan janjinya. Bukan hanya menemani, Ira juga jadi editor yang mengoreksi naskah-naskahnya, sebelum dia kirim ke majalah.

            Aduh Ra, ini udah cerpen keempat yang aku kirim ke majalah, kok belum ada yang tembus ya...,” Keluh Ben yang  semangatnya kembali redup.

            Sabar Ben, belum kebaca kali sama Redakturnya, buat dan kirim lagi Ben,”

            Jenuh…,”

            Semua butuh proses Ben, coba aja kamu tanya sama penulis best seller sekalipun pasti pernah ngalami apa yang sekarang kamu alami. Minimal sekarang kamu sudah mulai produktif dan sudah punya pembaca setia lho hi hi,

            Pembaca setia? Siapa?”

            Aku Ben, Abis cerpen kamu lucu sih, pas banget buat hiburan saat lagi sumpek mikirin tugas kuliah  yang nggak kelar-kelar hi hi”

            Hmm seandainya nanti aku nerbitin novel, aku yakin seratus persen pasti kamu nggak beli, tapi minta gratis. ya nggak?”

            Hi hi tepat sekali kawan. Kamu memang paling ngerti aku deh,”

            Baik lah aku janji kalo karyaku dimuat. Aku bakal antar langsung majalahnya  ke Jogja buat kamu,”

            “Ditunngu. Janji  cowok harus ditepati.” ***

            Baru diposting beberapa saat foto cerpen Ben yang berhasil tembus sebuah majalah sudah mendapat banyak like dan komen dari temen-temennya yang mengucapkan selamat. Tapi Ben merasa belum puas karena dari sekian banyak komen dan jempol yang dia dapat tak ada yang dari akun fb Ira. Entah cewek pecinta warna biru itu  tiba-tiba tak pernah lagi online.

            Ben sudah mengirimkan belasan pesan tapi belum ada jawaban, membuat Ben resah dan bertanya-tanya  kemana gerangan gadis yang biasanya tiap malam menemaninya menulis itu. Rasa resah Ben makin menjadi. Hampir tiap menit dia membuka akun fbnya mengecek email masuk tapi masih juga kosong. Jangankan dibalas, dibaca saja belum. Rasa  sesak itu terus menghimpit membuatnya jadi ingin sekali  pergi ke jogja menemui Ira.

***

Ben setengah tak percaya,  pemuda yang dia tanya alamat rumah Ira menunjuk ke sebuah rumah yang terdapat bendera palang hitam tanda kalau di rumah tersebut baru saja ada orang yang meninggal. Tanpa bertanya siapa yang meninggal, cowok berambut ikal itu  langsung berlari kencang menuju rumah itu. Perasaan Ben yang tadinya bimbang mendadak menjadi gelisah luar biasa. Ben takut terjadi apa-apa sama Ira, sosok yang selama ini menemaninya menulis.

 Ben dipersilahkan masuk di sebuah ruangan yang dialasi karpet. semua kursi di ruangan itu di taruh di luar. Setelah duduk,  Ben hanya menyapu pandang ke seluruh ruangan mengamati tiap jengkal rumah bergaya minimalis dengan lukisan-lukisan antik yang menghiasi dinding untuk  mengusir rasa grogi. Ben masih bingung untuk memulai sebuah pembicaraan. Dia lega Ira ternyata baik-baik saja, tapi jadi ikutan sedih begitu tahu Ira baru saja ditinggal pergi ibunya untuk selamanya. Mulut Ben terasa sangat kelu menatap mata sayu Ira yang kini tepat di depannya.

“Apa kabar kamu Ra?” akhirnya sebuah kata terucap juga dari bibir Ben.

“Baik Ben, terima kasih sudah mau datang kesini, mohon bantuan doanya  untuk Almarhumah ibuku, semoga di sana Alloh selalu menyanyanginya,” Ucap Ira masih belum percaya Ben akan jauh-jauh dari Malang untuk mengunjunginya.

Lagi Ben terdiam. Sejak SMP sampek SMA Ira sekolah sambil belajar di pesantren di kota Malang, jauh dari kedua orang tuanya. Ira jadi satu-satunya cewek berhijab dari pesantren yang diterima di sekolah negeri favorit di Malang. Gadis cantik yang berhijab rapat itu kemudian melanjutkan kuliah di kota asalnya Jogjakarta, agar bisa dekat dengan keluarga. Ah nyatanya dia harus kehilangan.

“Beliau pasti lebih bahagia di sana sekarang. Kamu yang sabar ya..”

“Amin Ben, sekali lagi terima kasih…” saut Ira lirih.

Ben kembali terdiam, Entah kenapa tiba-tiba muncul dalam benaknya untuk berubah menjadi seorang cewek untuk beberapa saat saja. Ben ingin sekali memeluk erat Ira dan meminjamkan bahunya sebagai  tempat bersandar. Sesuatu yang tak dapat dia lakukan karena dia seorang cowok. Ben kenal betul siapa Ira, seorang muslimah yang sangat taat, pernah suatu kali waktu masih satu sekolah dulu, karena merasa sudah akrab,  Ben iseng menggandeng tangan Ira saat keduanya berjalan beriringan menuju kelas. Hasilnya,  Ben tak  disapa selama seminggu penuh setelah itu. Ben pun minta maaf dan berjanji untuk tidak mengulangi.

“Kalau kamu memang ingin temenan sama aku Ben, tolong jangan seperti itu lagi.” Ben kembali terngiang ucapan Ira dulu.

Tak mau terlarut dengan suasana haru, Ben buru-buru mengeluarkan sesuatu dari tas selempangnya.

“Eh Ra,   cerpenku kemarin ada yang dimuat lho. Sesuai janji, aku bawa langsung majalahnya buat kamu,” seru Ben menyerahkan sebuah majalah kepada Ira.

“Ah, alhamdulillah. Akhirnya tembus juga, selamat Ben!” Pekik Ira begitu gembira mendengar kabar dari Ben. Sambil terus tersenyum, gadis berhijab rapat itu meraih majalah dari tangan Ben dan membolak balik majalah mencari halaman yang memuat cerpen Ben. Senyum Ira sore itu terasa begitu menyejukkan sekali bagi Ben.

“Iya Ra, jangan lama-lama ya sedihnya. Kembali ceria dan temani aku menulis lagi,” seru Ben senang melihat Ira begitu antusias membuka halaman demi halaman majalah yang dia bawa.

“Iya, Ben. Terima kasih sudah datang, dan menepati janji,”

“ Ah, andaikan aku cewek Ra?” gumam Ben ingin sekali memeluk sahabatnya itu.

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar